Siapa yang tidak suka menyebut dirinya kreatif? Kata kreativitas hari ini hadir di mana-mana: dari brosur pemerintah tentang ekonomi kreatif, aplikasi AI yang bisa membuat lukisan dalam hitungan detik, hingga kampanye motivasi yang bilang “setiap orang adalah kreator”. Namun, di balik semua itu, muncul pertanyaan penting: apa sebenarnya makna kreativitas?
Kreativitas Bukan Lagi Sekadar Imajinasi
Pertanyaan ini menjadi pusat pembahasan dalam artikel akademik yang ditulis oleh Hye-Kyung Lee pada tahun 2022. Ia menelusuri bagaimana konsep kreativitas dipakai dalam tiga ranah besar: industri kreatif, kecerdasan buatan (AI), dan kehidupan sehari-hari. Dari sana, ia menunjukkan bagaimana kreativitas bisa dipahami secara sangat berbeda—kadang dimuliakan, kadang dieksploitasi, dan kadang juga dipermudah sampai kehilangan bobotnya.
Industri Kreatif: Kreativitas yang Dijadikan Komoditas
Ketika pemerintah berbicara tentang industri kreatif, kata “kreativitas” hampir selalu disandingkan dengan angka-angka ekonomi. Kita mendengar klaim bahwa musik, film, fashion, atau desain digital menyumbang persentase besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, cara pandang ini sering kali menyederhanakan kreativitas menjadi semacam modal ekonomi.
Dalam kerangka ini, kreativitas tidak lagi dilihat sebagai proses penuh perjuangan seorang seniman atau penulis, melainkan sebagai aset yang bisa dipatenkan atau dijadikan kekayaan intelektual. Pekerja kreatif jarang dipandang sebagai manusia yang berjuang dengan waktu, tenaga, dan keterbatasan hidup. Alih-alih, kreativitas direduksi menjadi hasil akhir yang bisa diukur: produk, paten, atau karya yang menghasilkan uang.
Padahal, kenyataannya banyak pekerja seni hidup dalam ketidakpastian. Mereka menghadapi pendapatan yang rendah, pekerjaan serabutan, dan sedikit perlindungan sosial. Inilah paradoks industri kreatif: di satu sisi diagungkan sebagai motor ekonomi, di sisi lain gagal melindungi orang-orang yang justru membuat roda itu berputar.
AI dan Kreativitas: Ancaman atau Kesempatan?
Di sisi lain, kita juga melihat munculnya fenomena baru: AI sebagai kreator. Dari musik yang digarap oleh algoritma, lukisan digital yang “diciptakan” komputer, hingga teks yang ditulis mesin, AI kini mampu menghasilkan karya yang tampak kreatif.
Fenomena ini memunculkan dua sisi yang menarik. Di satu sisi, AI memaksa kita merefleksikan ulang apa itu kreativitas manusia. Jika mesin bisa menghasilkan lukisan indah, lalu apa bedanya dengan pelukis sungguhan? Bukankah kreativitas seharusnya soal gagasan baru, bukan siapa yang membuatnya? Dengan cara ini, AI bisa membantu kita “merehumanisasi” kreativitas dengan mengingatkan betapa pentingnya peran agensi, tubuh, dan pengalaman manusia.
Namun, di sisi lain, AI juga menghadirkan ancaman nyata bagi pekerja kreatif. Banyak perusahaan lebih memilih musik AI atau ilustrasi AI karena lebih murah dan cepat. Hal ini bisa menggusur pekerjaan penulis lepas, desainer grafis, hingga komposer musik. Lebih jauh lagi, muncul kebingungan soal siapa sebenarnya yang berhak disebut kreator: apakah AI, programmer, atau pengguna?
Yang menarik, meski AI mampu menghasilkan karya, penelitian menunjukkan bahwa publik sering menilai lebih rendah karya seni jika tahu bahwa itu dibuat oleh mesin. Hal ini menunjukkan bahwa kita masih sangat menghargai tangan manusia di balik sebuah karya. Kreativitas, bagi banyak orang, bukan hanya soal hasil, tetapi juga soal siapa yang melahirkan karya tersebut.
Kreativitas Sehari-hari: Semua Orang Bisa Jadi Kreator?
Selain industri dan AI, ada juga wacana tentang kreativitas sehari-hari. Pandangan ini menekankan bahwa kreativitas bukan monopoli seniman terkenal atau perusahaan besar. Setiap orang, dari ibu rumah tangga yang merancang menu harian hingga anak muda yang membuat konten di media sosial, bisa disebut kreatif.
Wacana ini terdengar indah karena mendemokratisasi kreativitas. Semua orang diberi ruang untuk mengekspresikan diri, dan tidak ada batasan “elit” yang memonopoli istilah kreatif. Namun, ada sisi lain yang perlu diperhatikan. Ketika semua hal disebut kreatif, kita berisiko mengaburkan perbedaan antara kreativitas amatir dan kerja kreatif profesional.
Akibatnya, semakin sulit bagi pekerja seni untuk membela hak mereka. Jika setiap orang dianggap kreatif dengan caranya masing-masing, mengapa seniman harus mendapat dukungan khusus dari pemerintah atau masyarakat? Dalam kerangka ini, kreativitas bisa kehilangan nilai spesifiknya sebagai hasil kerja serius yang membutuhkan waktu, latihan, dan keahlian mendalam.
Menuju Pemahaman Baru tentang Kreativitas
Dari ketiga ranah ini—industri kreatif, AI, dan kreativitas sehari-hari—Lee menunjukkan bahwa kreativitas bukan lagi istilah yang netral. Ia bisa menjadi alat ekonomi, sumber ancaman sekaligus refleksi, bahkan jargon yang terlalu inklusif hingga kehilangan maknanya.
Lalu, apa artinya bagi kita?
Pertama, kita perlu mengakui bahwa kerja kreatif adalah kerja manusia. Ia melibatkan tenaga, pikiran, emosi, dan waktu. Mengabaikan sisi ini hanya membuat pekerja seni semakin rentan.
Kedua, kita harus berhati-hati dengan AI. Alih-alih hanya dipandang sebagai pengganti manusia, AI bisa menjadi cermin untuk memahami apa yang khas dari kreativitas kita sendiri. Namun, perlindungan pekerja seni juga harus diperkuat agar mereka tidak tergusur oleh algoritma.
Ketiga, kita bisa merayakan kreativitas sehari-hari, tetapi tetap memberi tempat khusus bagi kreativitas profesional. Sama seperti semua orang bisa berlari tetapi atlet tetap mendapat pengakuan, semua orang bisa kreatif tetapi pekerja seni tetap pantas mendapat penghargaan dan dukungan ekstra.
Menjadi Manusia
Kreativitas bukan sekadar kata manis yang dipakai dalam slogan atau laporan pemerintah. Ia adalah sesuatu yang kompleks, penuh kontradiksi, dan terus berubah sesuai konteks zaman. Dari industri kreatif yang terlalu ekonomistik, AI yang mengguncang definisi seni, hingga kreativitas sehari-hari yang tampak sederhana namun berimplikasi besar—semua mengingatkan kita bahwa kreativitas perlu dipahami dengan lebih kritis.
Pada akhirnya, kreativitas adalah tentang menjadi manusia: kemampuan kita untuk mencipta, berimajinasi, dan memberi makna pada dunia. Dan justru karena itu, kreativitas tidak bisa direduksi menjadi angka, mesin, atau jargon belaka.
(witten by AI)


No comments: