Seberapa Kreatif Sebenarnya Industri Kreatif? Membaca Ulang dengan Deleuze

Dalam beberapa dekade terakhir, istilah industri kreatif menjadi populer di banyak negara, termasuk Indonesia dan Australia. Pemerintah, akademisi, hingga pelaku usaha kerap menyebutnya sebagai motor penggerak ekonomi baru. Istilah ini mencakup berbagai sektor: musik, film, fashion, desain, media digital, bahkan arsitektur dan periklanan.


Industri Kreatif: Antara Imajinasi dan Kapitalisme

Namun, muncul pertanyaan penting: apakah industri kreatif benar-benar kreatif? Atau, jangan-jangan istilah ini hanya sekadar label ekonomi yang membungkus praktik kerja biasa dengan aura kebaruan?

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Alexia Cameron dan Anna Hickey-Moody (2024) mencoba menjawab pertanyaan itu. Dengan membaca ulang industri kreatif melalui filsafat Gilles Deleuze, mereka mengajak kita berpikir lebih kritis tentang apa yang dimaksud dengan kreativitas dan bagaimana kreativitas dijalankan dalam industri.


Seberapa Kreatif Sebenarnya Industri Kreatif? Membaca Ulang dengan Deleuze


Menggugat “Kreativitas”

Kita mulai dari tiga pertanyaan utama:
  1. Seberapa kreatif industri kreatif itu sendiri?
  2. Bagaimana wacana tentang kreativitas dibentuk dan digunakan dalam kebijakan maupun praktik kerja?
  3. Bagaimana teori Deleuze bisa membantu kita memahami kreativitas secara lebih mendalam, melampaui definisi formal yang sempit?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting karena istilah “kreativitas” sering dipakai sebagai kata kunci dalam kebijakan publik maupun pemasaran, tetapi jarang dijelaskan secara serius.


Hipotesis: Kreativitas yang Dikooptasi

Meskipun tidak berbentuk hipotesis kuantitatif, penulis mengajukan asumsi kritis:

  • Industri kreatif lebih sering mereproduksi logika kapitalisme daripada benar-benar membuka ruang bagi imajinasi baru.
  • Kreativitas dalam kebijakan publik diperlakukan sebagai alat regulasi ekonomi, bukan sebagai kekuatan pembaruan sosial atau seni.
  • Melalui kacamata Deleuze, kreativitas seharusnya dipahami sebagai proses menjadi (becoming), diferensiasi, dan resistensi terhadap klise.


Membaca dengan Filsafat

Penelitian ini tidak mengumpulkan data survei atau angka-angka statistik. Sebaliknya, metode yang digunakan adalah kajian pustaka, analisis wacana, dan pembacaan filosofis.

Sumber data utama berasal dari:

  • Dokumen kebijakan tentang industri kreatif di Australia.
  • Laporan ekonomi kreatif yang digunakan pemerintah dan lembaga riset.
  • Tulisan teoretis tentang kreativitas, termasuk karya Deleuze dan Guattari.

Dengan pendekatan ini, penulis membandingkan antara definisi birokratis tentang kreativitas dan pemahaman filosofis tentang kreativitas.


Antara Kreativitas dan Klise

1. Industri Kreatif Sering Kali Tidak Kreatif

Meskipun disebut “kreatif”, banyak sektor yang justru bekerja dalam logika repetisi kapitalisme. Misalnya, periklanan dan marketing lebih menekankan penjualan produk daripada penciptaan gagasan baru. Industri ini menghasilkan klise, bukan terobosan.

2. Kreativitas Jadi Retorika Regulatf

Kata “kreatif” dipakai pemerintah untuk membenarkan kebijakan tertentu, misalnya dalam pembiayaan, regulasi, atau strategi ekonomi. Kreativitas di sini tidak lagi soal seni atau imajinasi, melainkan indikator ekonomi yang bisa diukur dalam angka.

3. Perspektif Deleuze: Kreativitas = Proses Menjadi

Bagi filsuf Gilles Deleuze, kreativitas bukan soal produk jadi, melainkan soal proses diferensiasi tanpa henti. Kreativitas sejati lahir dari upaya melawan klise, menemukan jalur baru, dan menghadirkan pengalaman yang belum pernah ada.

4. Jurang antara Wacana dan Praktik

Ada perbedaan besar antara cara kreativitas dibicarakan di level kebijakan dengan kenyataan di lapangan. Misalnya, banyak pekerja seni muda di Australia justru bekerja serabutan, dengan pendapatan tidak menentu, meskipun pemerintah menyebut sektor ini motor ekonomi.

5. Implikasi: Perlu Pemahaman Kritis

Industri kreatif seharusnya tidak hanya dipahami sebagai mesin ekonomi. Ia juga perlu dilihat sebagai ruang sosial, budaya, dan politik tempat kreativitas sejati bisa muncul, kreativitas yang melampaui nilai komersial.


Deleuze dan Konsep Minor Arts

Salah satu sumbangan penting artikel ini adalah membedakan seni mayor dan seni minor.

  • Seni mayor: seni arus utama yang sudah dilembagakan, seperti balet, musik klasik, film blockbuster.
  • Seni minor: seni alternatif atau marginal seperti street art, hip hop komunitas, zine, mode independen, hingga eksperimen digital.

Menurut Deleuze, justru dalam seni minor lah kreativitas sejati sering muncul, karena di situlah ada perlawanan terhadap norma dan produksi klise. Sayangnya, dalam kebijakan industri kreatif, seni minor sering kurang diperhitungkan dan minim dukungan finansial.


Fabulation dan Affective Power

Deleuze juga memperkenalkan konsep fabulation: kemampuan seni untuk menciptakan dunia baru, bukan sekadar meniru realitas. Dalam seni, imajinasi dapat menghasilkan “orang-orang yang akan datang”, membuka kemungkinan masa depan yang berbeda.

Kreativitas sejati tidak hanya soal output ekonomi, tetapi juga soal afek: kekuatan yang mengguncang, mengubah cara kita berpikir, dan memaksa kita memahami realitas dengan cara baru.


Apa Artinya untuk Masa Depan Industri Kreatif?

Artikel ini memberi pesan penting: jika kita hanya mengukur kreativitas dengan angka (jumlah pekerja, kontribusi GDP, atau volume produksi), kita kehilangan esensi kreativitas itu sendiri.

Industri kreatif seharusnya menjadi ruang bagi:

  • Eksperimen artistik yang melawan klise.
  • Seni minor yang memberi alternatif terhadap arus utama.
  • Pekerja seni muda yang tidak hanya dipandang sebagai alat ekonomi, tetapi juga sebagai pencipta masa depan budaya.


Menjadi Lebih dari Sekadar Ekonomi

Kreativitas bukan sekadar kata kunci untuk branding industri. Ia adalah kekuatan hidup, kekuatan yang memungkinkan masyarakat bergerak, berubah, dan berimajinasi di luar batas yang sudah ditentukan.

Dengan membaca ulang industri kreatif melalui Deleuze, Cameron dan Hickey-Moody menekankan bahwa kita perlu kebijakan baru:

  • yang menghargai proses, bukan hanya produk,
  • yang mendukung seni minor, bukan hanya seni mayor,
  • dan yang melihat kreativitas sebagai cara menjadi manusia, bukan sekadar cara mencari keuntungan.

Jika kita bisa memandang kreativitas dengan cara ini, maka istilah industri kreatif akan benar-benar berarti.


(writen by AI)

No comments: