Bukan STEM Lagi, Saatnya STEAM: Pendidikan Inklusif untuk Dunia Berkelanjutan

Bayangkan jika anak-anak kita hanya diajari berhitung, menghafal rumus, dan menyelesaikan soal ujian. Mereka mungkin jadi jago di kelas, tapi apakah siap menghadapi dunia nyata yang penuh masalah kompleks—dari krisis iklim hingga teknologi kecerdasan buatan (AI) yang kian mendominasi? Pertanyaan inilah yang mendorong para peneliti dari University of Connecticut menulis sebuah artikel penting di jurnal Energy and AI tahun 2022.


Bukan STEM Lagi, Saatnya STEAM


Artikel berjudul “Inclusive STEAM education in diverse disciplines of sustainable energy and AI” ditulis oleh Michelle Skowronek, Renée M. Gilberti, Michael Petro, Christopher Sancomb, Stacy Maddern, dan Jasna Jankovic. Para penulis datang dari berbagai bidang: rekayasa material, desain, studi komunitas, hingga program beasiswa untuk mahasiswa minoritas. Perbedaan latar belakang ini menegaskan pesan utama mereka: pendidikan harus lintas disiplin, tidak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri.

Tantangan Energi Berkelanjutan dan AI

Energi berkelanjutan dan kecerdasan buatan adalah dua bidang dengan perkembangan tercepat saat ini. Keduanya makin sering berkolaborasi, misalnya AI membantu mengelola smart grids, memprediksi cuaca, atau merancang kota pintar. Namun, keberhasilan teknologi ini tidak hanya soal mesin yang makin pintar, melainkan juga bagaimana manusia menggunakannya secara adil, etis, dan berkelanjutan.

Sayangnya, pendidikan STEM tradisional masih cenderung terpaku pada pola lama. Model ini melatih keterampilan teknis, tetapi terlalu kaku dan berorientasi pada ujian. Anak-anak pintar menghitung, tetapi kurang terbiasa bertanya “mengapa” dan “untuk siapa” teknologi itu dibuat. Lebih parah lagi, akses pendidikan berkualitas tidak merata. Mahasiswa perempuan, minoritas rasial, atau dari keluarga berpenghasilan rendah sering merasa “tidak cocok” di jurusan sains dan teknik. Banyak yang akhirnya mundur di tengah jalan karena merasa minder.

Apa Itu Pendidikan STEAM?

Para penulis menawarkan pendekatan segar: STEAM education. Berbeda dengan STEM, pendekatan ini menambahkan Arts—yang mencakup seni, humaniora, etika, dan bisnis—ke dalam kurikulum. Dengan STEAM, siswa dilatih untuk berimajinasi, berempati, dan berkomunikasi. Mereka tidak hanya tahu cara membuat teknologi, tetapi juga bisa membayangkan dampaknya bagi masyarakat.

Data menunjukkan bahwa tenaga kerja kreatif di Amerika Serikat bahkan lebih besar jumlahnya dibandingkan tenaga kerja murni di bidang sains dan teknik. Dunia kerja masa depan justru menuntut kombinasi kreativitas dan teknologi. AI juga dapat menjadi bagian integral dalam pendidikan STEAM, misalnya membantu personalisasi pembelajaran atau memperkenalkan konsep machine learning sejak sekolah menengah.

Contoh Implementasi STEAM di Dunia

Artikel ini menampilkan berbagai contoh implementasi pendidikan STEAM dan energi berkelanjutan dari berbagai belahan dunia. Di Stanford University, ada proyek MESMERIZE, pusat data berbasis AI yang menekankan keadilan lingkungan dalam transisi energi nol emisi. MIT mengembangkan model pembelajaran berbasis komunitas, salah satunya menghasilkan inovasi alat pelindung diri berkelanjutan selama pandemi.

Ohio State University mendirikan pusat riset energi yang dirancang untuk memicu kolaborasi lintas disiplin. Di Eropa, konsep “living labs” mulai diperluas untuk menciptakan ekosistem pembelajaran yang melibatkan masyarakat secara langsung. Di Nigeria, organisasi lokal memanfaatkan AI untuk menentukan lokasi terbaik pemasangan panel surya, dengan melibatkan warga desa sebagai bagian dari riset.

Tim penulis sendiri juga membangun STEAM Tree di University of Connecticut. Proyek ini berupa pohon tenaga surya dengan desain biomimetik, dilengkapi sistem AI interaktif. Pohon ini bukan hanya sumber energi, tapi juga ruang publik inklusif, tempat masyarakat dapat berkumpul dan belajar.

Mengapa STEAM Penting untuk Masa Depan

Kesimpulannya, kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan model pendidikan lama. Jika ingin berhasil dalam transisi menuju energi bersih dan dunia yang lebih adil, kita butuh cara belajar yang inklusif, kreatif, dan lintas disiplin. Pendidikan STEAM bukan sekadar menambahkan seni ke dalam pelajaran sains, tetapi mengubah cara kita melihat pendidikan itu sendiri.

Meski artikel ini lebih banyak menawarkan gagasan daripada data empiris, pesannya jelas: pendidikan harus menjadi jembatan, bukan penghalang. Anak-anak dari kelompok manapun berhak merasa punya tempat di dunia sains dan teknologi. Energi berkelanjutan dan kecerdasan buatan memang bisa mengubah dunia, tetapi hanya jika kita menyiapkan generasi baru yang tidak hanya pintar secara teknis, melainkan juga punya imajinasi luas dan kesadaran sosial yang tajam.

Dengan pendidikan STEAM inklusif, masa depan teknologi bukan hanya soal mesin yang makin cerdas, tetapi juga manusia yang lebih bijak. Itulah kunci agar energi berkelanjutan dan AI benar-benar bisa menjadi kekuatan yang adil bagi semua orang.


written by AI

No comments: